Sudah 3 kali
ini saya datang ke markas sampah beliau, markas sampah yang sudah menghidupi 3
anak dan satu istri, markas sampah yang sudah menghasilkan motor gede, dua
mobil kol buka, dan satu kijang innova, markas sampah yang sudah berdiri selama
14 tahun silam dan markas sampah yang membuat beliau selalu bersyukur kepada
Allah atas nikmat yang diberikan-Nya.
3 kali saya
kemarkas sampah beliau; 2 kali saya menjual barang rongsok dan satu kali saya
hanya main sebentar sedari tanya harga kardus dan botol mineral perkilonya. Saya
kemarkas beliau Cuma satu tahun sekali, jadi kurang lebih hampir tiga tahun
saya kenal beliau walaupun kekraban baru muncul dipertemuan ketiga kemarin
(6/4/2014).
Dipertemuan
ketiga kemarin, saya memang meminta anak buah beliau untuk membawa mobil kol
buka, mengambil barang rongsok yang sudah saya kumpulkan berbulan-bulan. Kemudian saya duduk
didepan, sampingan dengan anak buahnya yang juga kerabat dekat beliau.
Namanya kalau
gak salah dadang, saya langsung akrab dengan dia sejak pertama kali ke markas
sampah, “masih kerja kuliah mas?”, Tanya dadang sambil menghidupkan lagu kesayangannya, lagu sunda. “iya,
lagi semester akhir kang”, timpalku.
Dadang
menatap kedepan mobil, perlahan menggoyangkan pundak seirama suara dendang lagu
sunda, dengan tangan kiri menyetir dan tangan kanan yang baru saja melepaskan
sebatang rokok dari mulutnya kemudian keluar dari mulutnya asap surga dunia.
Dadang lalu berbagi
cerita dengan saya tentang usaha barang
rongsok yang sudah dirintis bosnya itu sejak tahun 2000. Pemilik usaha ini
adalah Bapak Ali, beliau asli dari Cirebon. Bukan lulusan sarjana maupun pasca
sarjana, melainkan tidak lulus SD. Walaupun demikian kata dadang, semangat
juangnya justru melebihi para lulusan sarjana,”yang gak tau ilmu rongsok (usaha
barang rongsok) ratusan juta bisa lenyap begitu saja mas, karena urusannya
dengan mafia”.
Mafia? Ya,
saya langsung faham. Ibarat, pohon yang semakin tinggi maka angin yang akan
menerpapun juga semakin kuat. Barang rongsok yang ada dimarkasnya seluas (1.100
m) tidak mungkin “dimainkan” dilokal saja, pasti juga di ekspor. Berbicara
ekspor tak mungkin soal administrasi berbelit-belit yang jadi kendala saja, tapi
disisi lain juga ada rintangan besar yakni mafia.
“berarti
harus pinter diplomasi dong?”, Tanyaku sebelum dadang menjawab, iya. saya jadi penasaran dengan sosok pria hebat, bos dari si dadang ini. Apa yang membuatnya
menjadi orang yang “cukup” didunia? cukup anak, cukup istri, cukup mobil, cukup rumah,
hehe.
*kok udah
sore? saatnya pulang kerja, ntar malem dilanjut lagi ah…
Ceritanya bersambung dulu… daripada
gak posting?haaaaaaaha.
0 komentar:
Posting Komentar